This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 14 September 2014

Cerpen : Berawal Dari Sebuah Diskusi



Diskusi Progresip
Cerpen : Berawal Dari Sebuah Diskusi 
Oleh: Sarip – Anggota KPO-PRP (*)

Sore itu masih saja terlihat lengang. Jam dinding telah menunjuk angka 4 dimana beberapa pengurus suatu serikat buruh sudah terlihat menunggu kehadiran anggotanya di sebuah sekretariat di daerah Serang Cikarang. Hari itu memang telah diagendakan sebuah diskusi disana.
Diskusi rencananya membahas persoalan kelas buruh dalam perjuangan upah yang akhir-akhir ini memang sedang diperjuangkan kaum buruh dimana-mana. Namun seperti biasa, belum banyak peserta yang hadir pada waktu yang telah ditentukan. Hanya terdapat beberapa pengurus beserta beberapa anggota yang  memang mendapatkan shift malam. Sebagian besar anggota baru selesai bekerja pukul 4 tepat. Dalam beberapa kesempatan, anggota yang sebagian besar bekerja di kawasan industri Hyundai itu dipanjangkan jam kerja nya 10 sampai 30 menit. Tidak terhitung lembur. Hanya toleransi pergantian shift, umumnya kata pengusaha demikian.
Bagusnya, sekretariat berbentuk rumah panggung yang teduh tidak membuat pengurus bosan untuk menunggu. Gelas kopi pertama sudah habis setengahnya. Tidak begitu lama, rombongan motor pun tiba. Sekitar 10 motor yang langsung diparkir di halaman yang penuh dengan akar pohon rambutan. Disusul kemudian dengan rombongan lainnya, dan beberapa lagi yang berjalan kaki.
Riuh suara mulai memecah keheningan. Setelah saling bersalaman ala pejuang, obrolan ringan yang bernada keluhan sampai candaan mulai mengisi waktu yang berjalan. Batang rokok pun mulai dinyalakan. Begitu terasa ekspresi kemerdekaan yang mereka tumpahkan dari disiplin pabrik yang menjenuhkan.
Namun itu, pengurus merasa ada yang lebih penting. Perjuangan upah yang sedang memanas membuat pengurus merasa harus memperkuat pemahaman para pengurus dan anggota dari tiap pabrik. Belum habis batang rokok pertama, semua anggota yang telah berkumpul di depan sekretariat pun diarahkan masuk. “Ayo mulai diskusi, sebelum magrib”, kata seorang pengurus. Ada yang langsung masuk, ada pula yang menunggu sampai keluarnya panggilan ketiga. “Masuk dong, biar cepet juga selesainya”, tuntut seorang peserta mengajak rekannya masuk. Diskusi yang sedianya rutin dilaksanakan setiap hari selasa ini pun akhirnya dimulai.
Seorang pemateri yang sampai saat ini masih menjadi tersangka karena membela buruh memulai pengantarnya dengan menjelaskan apa itu kelas buruh, apa itu kelas pemodal dan apa itu upah. Peserta terlihat serius mengikutinya diawal. Tidak semuanya mungkin, karena sebagian kecil terlihat sibuk mengutak-atik telepon genggamnya. Air panas beserta gelas, kopi dan teh diantar seorang pengurus ke tengah forum diskusi. Sambil menyedu kopi dan teh, peserta masih mengikuti diskusi dengan mendengar hikmat.
Semua sisi argumen kenaikan upah dibongkar. Diskusi menjadi menarik saat upah dikaitkan dengan harga-harga barang yang memang terus merangkak naik. “Mengapa kita tidak menuntut untuk menurunkan harga saja?”, tanya seorang peserta. Peserta lain menjawab bahwa hal itu juga diperlukan agar kenaikan upah tidak selalu disusul kenaikan harga. “kontrakan saya tahun kemarin saja, setelah kenaikan upah, naik sampai 20%-an, belum yang lain-lain”, katanya lagi. “Tapi apa bisa kalau menuntut turunkan harga?”, sambung peserta lainnya.
Merasa dikepung pertanyaan, pemateri coba menjelaskannya dengan menghubungkan upah dan harga sebagai cara kelas pemodal untuk tidak berkurang keuntungannya. Tapi ini tidak berlaku umum. “Terhadap beberapa produk, naiknya harga berarti turunnya konsumen”, timpal pemateri. “kalau gitu bisa tutup dong perusahaan, bisa PHK dong?”, sahut peserta lain mulai antusias.
Setelah sekitar 1 jam berdiskusi, pemateri akhirnya masuk ke ranah yang lebih kompleks dengan menyebut kapitalisme dan imperialisme sebagai akar persoalan. “selama kapitalisme ada, perjuangan upah akan terus ada, tetapi tidak otomatis menjamin kesejahteraan buruh maupun rakyat secara keseluruhan”, ungkap pemateri. “Kita bisa saja sejahtera. Tapi kalau keluarga kita, tetangga kita, saudara kita tidak sejahtera, apa kita mau?”, tanya pemateri lagi. “Ya, nggak lah. Itu sama aja kita gak sejahtera. Kan harus nyetor juga sama keluarga, harus berteman dan bersosialisasi juga”, jawab peserta sambil tertawa kecil.
Pemateri menyambungkan bahwa tutupnya perusahaan atau PHK massal yang pernah terjadi dalam sejarah, terutama bukanlah disebabkan oleh faktor upah. Kalaupun ada, persentasinya sangat kecil. Yang lebih utama penyebab PHK adalah karena krisis ekonomi kapitalisme. Yakni jatuhnya daya beli masyarakat secara umum atau jatuhnya tingkat keuntungan perusahaan akibat persaingan bebas ditambah birokrasi yang korup. Ini lebih mudah terjadi kalau industri di Indonesia lemah. Artinya, industri sangat tergantung pada pasar dan teknologi dari luar negeri. Lebih dalam lagi, karena sistem kapitalisme itu sendiri yang menyebabkan anarki produksi.
Disini peserta mulai terlihat bingung. Kerut di kening belum mengartikan bahwa mereka mengerti dan paham. “Terus gimana dong bung jadinya? Revolusi aja lah kalo begini rumitnya”, sahut seorang peserta dengan raut muka bingung yang disambut tawa dan canda peserta lainnya.
Revolusi tidak sekali jadi, walau memang perjuangan kita harus menuju kesana. Yang terpenting bahwa kita tidak hanya berkesadaran juang tentang upah. Inilah pentingnya melakukan diskusi rutin. Tapi hari ini kita harus fokus dulu berjuang untuk upah sampai mogok nasional nanti. Besok mungkin kita bicara soal harga dan korupsi. Besok lagi bersuara untuk kebebasan dan demokrasi. Besok lagi tentang perampasan tanah dan pendidikan. Dan terus demikian, untuk membuktikan watak negara hari ini yang pro terhadap modal, dan sampai kita kaum buruh lah yang memegang kekuasaan”. Begitu ceramah panjang pemateri dibawah langit yang sudah mulai menghitam.
Apakah kita sanggup demikian?”, tantang pemateri. “Sanggup!”, serentak peserta menjawab. Jawaban itu terasa masih seperti jawaban dalam diskusi semata. Kedepan, pengalaman juang sepertinya akan lebih menuntun kesanggupan mereka.
Diskusi pun akhirnya ditutup. Beberapa peserta masih menahan diri untuk berdiskusi ringan dengan pengurus tentang mogok nasional. Pengurus tingkat pabrik, seperti biasanya, berkonsultasi tentang masalah-masalah di tingkat pabrik sambil memegang berkas-berkas. Beberapa lainnya meninggalkan sekretariat untuk melakukan tanggung jawab lain. “saya cabut ya bung, anak lagi minta dibawain makanan nih”, pamit seorang peserta.
Diskusi-diskusi seperti ini memang terasa menjadi kebutuhan buruh untuk berjuang. Semoga dapat terus diulang.
(*) Penulis juga merupakan Sekjend F-PROGRESIP
Diedit oleh Rabik

Surat Lusuh Untuk Kaum Muda



Surat Lusuh Untuk Kaum Muda
Karya : Abdul Rahman/Ame’ GPMD 
Kepada Kaum Muda Yang Agung.
Dari Ame’ dan Keluarga.
Salam Pelopor !!!
Mendung kini menyelimuti kota Parepare. Di samping komputer tempo doeloe dan di bawah sinar lampu yang sesekali padam karena sudah tak mampu lagi menemaniku di kala berkelana dengan pena. Namun kesetiaannya akan selalu ku kenang dan ketika Ia padam untuk selamanya, ku akan mencoba menuangkan ceritaku bersamanya dalam tulisan-tulisan seperti tulisan ku terdahulu. dan mungkin sepucuk surat lusuh untuk kaum muda ini adalah tulisan terakhir dimana sinarnya masih bisa ku nikmati. 
Saat menulis surat ini, sering kali ku menutup pena untuk sejenak berfikir apa yang akan kusampaikan padamu si kaum muda. Ku masih bertanya-tanya siapakah kaum muda itu ? siapa kalian ? siapa kalian yang seakan di daulat sebagai Agen Perubahan, dikatakan sebagai kaum yang mampu mengontrol kehidupan social, Kaum yang selalu di agung-agungkan. Tapi ku heran mengapa disaat kalian di puja puji, terkadang pula kalian di caci, di abaikan, di katakan perusak, di benci, di musuhi bahkan untuk di lenyapkan. Tapi ku yakin kalian bukanlah sosok misterius, kalian bukanlah sosok kaum yang seharusnya di lenyapkan. Oh iya, di dalam surat ini, aku juga ingin menyampaikan tapi mungkin lebih tepatnya mengingatkan kembali bahwa sekarang negeri kita, masyarakat kita, orang tua kita, kini telah di perlakukan seperti seorang budak di rumah sendiri. Kita bagaikan tuan rumah yang di jadikan budak oleh tamunya di rumah sendiri, dan sebenarnya kita pun Juga merasakan hal itu. Tapi masalahnya apakah kita merasa di perbudaknya ? Tentang perbudakan di negeri sendiri Mungkin kalian sudah tahu atau justru lebih tahu. Kalian pernah dengar tidak sesorang yang mengatakan bahwa jika ingin menguasai dunia kuasailah Indonesia terlebih dahulu. Perkataan itu juga mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kalian. Tapi pernah kah kalian berfikir bahwa betapa kayanya negeri kita sehingga orang itu mengatakan hal tersebut. Mungkin kalian juga sudah berfikir tentang itu sebelum aku memikirkannya dan memberitahumu. Itulah hebatnya kalian.
Kemarin malam aku duduk bertiga dengan mama dan adik kecilku di ruang tamu, lebih tepatnya kami sedang menikmati hiburan dari televisi kecil yang tergolong tua. Salah satu benda yang begitu mewah bagi kami. Kami tinggal bertiga di sebuah rumah kecil peninggalan Ayah, tepatnya berada di sudut kota yang begitu jauh dari kehidupan atau ramainya kota Parepare Sulawesi Selatan. Namaku Ame’, Aku sendiri sudah duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Umum. Adik kecilku masih belajar di sekolah dasar dan kesibukan mama sebagai buruh cuci dari tetangga-tetangga yang menggunakan jasanya.
Maaf soal perkenalan keluarga kecilku tadi, aku berfikir kalian akan bertanya-tanya bahwa siapa penulis dan pengirim surat ini jika aku tidak memperkenalkan diri. Sampai saat ini aku masih bingung untuk menetapkan isi atau inti dari suratku ini, tapi kalian harus tahu bahwa surat ini bukanlah surat yang bernada romantisme atau sesuatu yang bersifat ceremonial semata.
Saat menonton bertiga dengan keluargaku, aku menyaksikan puluhan orang dari kaummu yang melakukan aksi demonstran. Aku salut, kalian memang tidak salah di nobatkan sebagai penyambung lidah rakyat. Tapi jujur, aku takut salah dan menyesal telah mengatakan hal tersebut. Oh iya, aku mau bertanya, benderah merah, kuning, hitam, biru, dan sebagainya dan baju kuning, merah, biru, coklat dan sebagainya juga. Mengapa harus ada. Bukankah kalian satu dalam kaum muda ? mengapa harus berwarna-warni, mengapa harus terkotak-kotakkan. Aku juga sering mendengar perselisihan yang terjadi antara kalian sesama kaum muda. Apa karena perbedaan warna benderah dan baju tadi, tapi persoalan itu adalah persoalan kalian. Tidak usah kita perdebatkan. Sebelum meninggalkan topic perbedaan kalian, bagaimana jika perbedaan kalian, warna-warninya kalian berpegangan dalam satu gerakan, Satu tujuan. walau perselisihan kalian terjadi hanya karena perbedaan idiologi. Jika kalian ingin bersatu, kalian bisa mempertimbangkan saranku tadi. Bagiku tidak perlu untuk menjadi satu, cukup kalian bersatu.
Maaf jika aku yang banyak Tanya, yang jelas aku bukan wartawan. Aku hanyalah anak dari keluarga kecil yang masih merasa di jajah dan belum merasakan kemerdekaan. Penjajahan oleh system kapitalisme yang mungkin kalian lebih tau dan mengerti akan istilah tersebut.    
Kalian masih ingat tidak ribuan kaum muda terdahulu yang atas nama rakyat turun kejalan meneriakkan perlawanan terhadap rezim Soeharto dan berhasil menggulingkan Soeharto dan orbanya di ganti dengan reformasi. Ku pikir kita akan sejahtera setelah peristiwa itu, tapi ternyata tidak ! kita masih saja di di perbudak di rumah sendiri. Apa benar itu murni gerakan atas nama rakyat. Apa benar gerakan itu tidak di tunggangi oleh kelas borjuasi, atau jangan sampai gerakan itu justru settingan dari kapitalis juga. Tapi kalian lah yang lebih tau akan hal itu.
Setelah melihat kaummu sekarang ini, agak sedikit sulit untuk merealisasikan saranku tadi, bahkan hanya untuk mempertimbangkanpun juga mungkin tak dapat. Aku merasa rindu melihat warna-warni benderah berpegangan dalam satu barisan ketika melakukan aksi di jalanan, bagiku itu terlihat indah dan mengagumkan. Tapi ku kembali lagi mengatakan, mungkin sulit untuk itu. Tapi jangan sampai karena tujuan yang memang sudah berbeda di karenakan adanya kepentingan dari warnanya kalian. Kasihan jika memang sudah seperti itu.
Kembai lagi aku ingin bertanya  siapa sebenarnya kalian ? apakah kalian sadar dimana posisi kalian. Bukankah kalian juga yang di daulat sebagai kaum terpelajar. Jangan sampai dengan ilmu yang tinggi justru kalian gunakan untuk membohongi orang lain. Seperti  yang telah kita ketahui, negeri kita masih di jajah. Apa kalian sadar akan penjajahan gaya baru ini. Mungkin kalian belum sadar, tapi jangan sampai kalian sadar, namun tak mau bergerak untuk merubahnya atau apatis terhadap semuanya. Tapi aku tetap pada prasangka ku bahwa kalian itu orang-orang yang hebat.
Kalian tahu tidak apa itu kapitalisme ? jelas kalian pasti tau, aku yakin itu. Tapi apakah kalian juga tau apa dampak dari kapitalisme. Sekali lagi kalian juga pasti tau akan hal itu. Prasangka ku memang tidak meleset bahwa kalian itu orang-orang yang hebat. Jika kalian sudah tau semua, atau mungkin kalian lebih tau. Mana gerakan nyata kalian untuk membebaskan rakyat dari kedzaliman kapitalisme di negeri kita.
Aku hanya bisa memanggilmu kaum muda, maaf jika panggilan itu tidak terlalu keren di telinga kalian. Untuk akhir dari suratku, aku lagi-lagi berharap kalian sadar akan posisi yang mengerti kondisi hari ini. Maaf juga jika akau banyak Tanya, kalian tidak perlu menjawab semua pertanyaanku tadi. Bahkan kalian tidak usah mengirim surat balasan kepadaku. Dan untuk pertanyaanku yang menanyakan siapa kalian, juga tidak usah kalian jawab. Karena aku lebih tau siapa kalian di bandingkan kalian sendiri. Mungkin hanya itu kehebatanku.
Terima kasih….   
Parepare, 25 Februari 2014.

Aku ingin jadi lembaran koran

Aku ingin jadi lembaran koran
Aku Ingin Jadi Milik Kalian
Aku ingin jadi lembaran koran
Menyelimuti kalian yang tidur di jalanan
Aku ingin jadi botol kering
Tempat kalian menampung keping demi keping
Aku ingin jadi sandal jepit
Mengalasi kaki melangkah di jalan raya dan gang sempit

Aku tak ingin menjadi penyelamat kalian
Aku tak ingin jadi bagian kaum dermawan
Aku hanya ingin jadi milik kalian
Aku hanya ingin bersama kalian

Aku ingin jadi dua atau tiga bilangan
Mengartikan kalian berhasil dalam ulangan atau ujian
Padahal kalian harus menyambi keluar masuk terminal jual gorengan
Aku ingin jadi sederetan huruf dan angka
Menyebutkan kalian dapat beasiswa
Karena prestasi yang kalian punya
dan menumbuhkan mimpi cita-cita
meski hanya sementara

Aku tak ingin menjadi penyelamat kalian
Aku tak ingin jadi bagian kaum dermawan
Aku hanya ingin jadi milik kalian
Aku hanya ingin bersama kalian

Aku ingin jadi arit, cangkul, dan mata bajak
Kalian pakai membuka lahan dan membuat alam liar jadi jinak
Aku ingin jadi kopi yang kalian hirup dengan enak
Sembari istirahat dari menggarap tanah untuk sejenak
Aku ingin jadi kretek yang kalian hisap dengan kompak
Saat kalian memikirkan Paidi yang terpaksa jadi tukang becak
Saat kalian merenungkan Denok yang jadi TKW untuk bayar hutang yang ia tunggak
Semua menjual tanahnya pada makelar, pada tuan tanah, yang tak pernah menggarap meskipun sepetak
Semua kehilangan tanah karena ancaman dan karena digertak
Dan bukan kepada kita pemerintah berpihak

Aku ingin jadi lembaran kertas tempat kalian membaca bahwa penggarap punya hak
Kalian pakai sebagai landasan berkumpul, bersatu, dan bergerak

Aku tak ingin menjadi penyelamat kalian
Aku tak ingin jadi bagian kaum dermawan
Aku hanya ingin jadi milik kalian
Aku hanya ingin bersama kalian

Dalam setiap kebangkitan
Dalam setiap kemunduran

Aku ingin jadi palu
Membantu memecah batu
Aku ingin jadi putih dan biru
Warna seragam dan kerahmu
Aku ingin jadi loker warna kelabu
Tempat kau menaruh barang bawaan dan memasang foto anakmu yang lucu-lucu
Aku ingin jadi check log di pintu
Engkau pasang tepat jam setengah tujuh
Aku ingin jadi lembaran slip tiap tanggal satu
yang selalu engkau tunggu-tunggu
dan kau terima dengan haru

Aku ingin jadi hari sabtu
Hari berkumpul dan membahas permasalahan terbaru
tentang lembur paksa, keamanan kerja, buruknya bahan baku
atau tentang mesin tua yang harusnya sudah diganti sejak dulu
atau tentang upah yang masih mengacu UMK lama yang tak lagi berlaku

Aku ingin jadi catatan keuangan yang akurat dan tak keliru
yang bisa kau minta saat majikan mengaku tidak mampu

Aku ingin jadi petisi yang penuh tanda tangan hingga seribu
untuk ajukan tuntutan serius pada suatu waktu

Aku ingin jadi koran dan selebaran yang menggebu-gebu
Penuh data, mengungkap fakta, serta menyeru-nyeru

Aku ingin jadi bilah-bilah bambu
Tempat panji perjuangan berkibar diterpa angin menderu
Di medan perjuangan, kaum buruh bersatu

Aku ingin jadi barikade logam dan kayu
Dalam mogok kerja yang sudah seminggu
Kalian sepenuhnya memilikiku

Aku tak ingin menjadi penyelamat kalian
Aku tak ingin jadi bagian kaum dermawan
Aku hanya ingin jadi milik kalian
Aku hanya ingin bersama kalian

Dalam setiap kekalahan
Dalam setiap kemenangan

CATATAN


CATATAN
Widji Tukul

Gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-sendi
Dalam sunyi hati menggigit lagi
Ingat
saat pergi
cuma pelukan
dan pipi kiri kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
Khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
Bertanya apa mereka saat terjaga
Aku tak ada (seminggu sesudah itu
sebulan sesudah itu
Dan ternyata lebih panjang
dari yang kalian harapkan!)
Dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma berbisik beberapa patah kata
di depan pintu
kau lepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit
genap setengah tahun aku pergi
Aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata
Aku pasti pulang
mungkin tengah malam dini
mungkin subuh hari
Pasti
dan mungkin
tapi jangan
kautunggu
Aku pasti pulang dan pergi lagi
karena hak
telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun
mereka masuki
muka kita sudah diinjak!
kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa
yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
"apa yang dicari?"
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya
yang dirampas dan dicuri.

Kamis, 28 Agustus 2014

Siswa Progresif

Siswa Progresif

Sebagai siswa pelajar di indonesia jangan sampai kita dibodohi sama orang-orang kapitalisme yang selalu saja menindas kita setiap hari. Bagi teman-teman yang ada di indonesia sadarlah begaimana orang kapitalis yang membodohi kita. Seperti PENDIDIKAN yang ada di indonesia selama ini. Itu sangat menindas kita tetapi kita tidak menyadarinya.seperti yang tertulis dalam undang-undang " untuk mencerdaskan kehidupan bangsa" itu katanya, tetapi apa buktinya??? kita selalu saja di bawah penindasan jadi pelajar yang ada diindonesia lawanlah orang-orang kapitalis,,,jangan sampai negri kita yang katang ???merdeka tapi hanya tulisan tdk ada bukti,,,kita perlu bikti bukan janji ingat it,,,kawan-kawan,,,,,tetaplah berjuang,,!!!